Batangsadong
24 Ogo 2011
22 Mei 2011
Makna di balik Badik Bugis
POSTED BY FAWWAZ MUGHNY ON FEBRUARY - 22 - 2011
Dimata orang Bugis, Badik atau dalam bahasa bugis disebut Kawali bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri, namun setiap jenis badik dipercaya memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Sejak ratusan tahun silam, badik dipandang sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Kawali orang Bugis pada umumnya memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, disamping itu ada juga kawali dari bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua(sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.
Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Telluyang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.
Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.
Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat (ure‘) yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.
Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.
Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.
Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Bugis mengenai badik “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Badik/kawali bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi. Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini. Kebiasaan tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada Badik/kawali tersebut.
Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
Badik/kawali yang bagus/istimewa dapat dilihat dari beberapa unsur, yakni:
a. Dari segi fisik Badik/kawali dapat dilihat:
Bahan bakunya terbuat dari besi dan baja pilihan biasanya mengandung meteorit dan ringan. Wilayah Sulawesi Selatan sejak zaman dahulu terkenal dengan besi luwu yang berkualitas tinggi.
Pamor;ragam pamor pada Badik/kawali lebih sederhana dari dari keris jawa biasanya terdiri dari jenis pamor kurrisi, laso ancale, parinring, bunga pejje, maddaung ase, kuribojo, tebajampu, timpa laja dan balo pakki.
b. Segi sisi’(tuah)/mistik antara lain:
- Uleng puleng dan battu lappa; sebenarnya merupakan kandungan meteorit. Bagi sebagian orang percaya Badik/kawali yang mempunyai ulengpuleng(kalau kecil)/battu lappa (kalau besar) akan membawa kebaikan pada pemiliknya baik berupa kemudakan rezki, karisma, maupun peningkatan karir. Posisi ulengpuleng/battulappa yang dicari adalah yang terletak dipunggung badik kira-kira berjarak 5 cm dari hulu/pangulu karena dipercaya akan memudahkan rezki dan karir. Badik/kawali yang memiliki ulengpuleng dan battulappa juga dipercaya dapat menghindari gangguan mahluk halus, sihir dan tolak bala.
- Mabelesse; adalah retakan di atas punggung Badik/kawali sehingga seakan-akan Badik/kawali tersebut akan terbelah dua. Badik seperti ini dipercaya akan memudahkan rezki bagi pemiliknya sehingga banyak dicari oleh yang berprofesi sebagai pedagang.
- Sumpang buaja; sama seperti mabelesse Cuma retakannya pada bilah dekat ujung Badik/kawali. Tuahnya sama seperti mabelesse namun yang dicari yang letaknya pada bilah sebelah kanan dekat ujung Badik/kawali.
- Ure tuo; adalah garis yang muncul pada bilah Badik/kawali. Yang dicari adalah yang tidak terputus-putus, kalau letaknya dipunggung Badik/kawali dan tidak terputus dari hulu sampai ujung tuahnya membuat sang pemilik disegani dan dituruti semua perkataannya, kalau melingkar ke atas dari bilah ke bilah sebelahnya seperti badik luwu sambang maka tuahnya untuk melindungi pemiliknya dari malapetaka dan kalau turun ke baja maka untuk memudahkan rezki.
- Tolongeng; adalah lubang pada punggung Badik/kawali yang tembus ke bawah terletak dekat hulu/pangulu sehingga kalau dilihat seakan seperti teropong. Pada zaman dahulu sebelum berangkat perang biasanya panglima perang meneropong pasukannya melalui Badik/kawali tolongeng.
- Sippa’sikadong; adalah retakan pada tengah bilah Badik/kawali dari punggung Badik/kawali. Tuahnya adalah membuat pemiliknya disenangi oleh siapa saja yang melihatnya. Pada zaman dahulu apabila ada seseorang akan melamar gadis, maka utusan dari laki-laki akan membawa Badik/kawali sippa’sikadong yang bertujuan agar memudahkan lamarannya diterima pihak perempuan
- Pamussa’; adalah upaya memperkuat daya magis Badik/kawali yang diletakan dalam hulu/pangulu Badik/kawali. Biasanya dengan menggunakan bahan-bahan tertentu tergantung akan digunakan untuk apa Badik/kawali yang akan di beri pamussa.
- Pangulu; di kalangan masyarakat bugis Bone berkembang suatu keyakinan akan kemampuan yang dimiliki sebagian orang yang mampu membuat pihak lawan tidak mampu mencabut Badik/kawali ketika akan digunakan, ilmu ini dikenal dengan istilah pakuraga/pabinrung. Pangulu yang caredo(terbelah/atau memiliki mata) secara alami dipercaya mampu mengatasi orang yang memiliki ilmu tersebut.
PAGAR/PENDINDIN-RUMAH
Pagar atau Pendinding Rumah Kaedah berikut dilakukan untuk mendinding rumah dan kawasannya juga tempat-tempat lain.
|
19 Mei 2011
18 Mei 2011
ILMU PAPPEJEPPU SEBUAH TASAWUF VERSI BUGIS
Oleh : Muh.Risani.Syam.
Jati diri suatu suku bangsa, ditentukan oleh budaya suku bangsa itu, begitu pula halnya dengan Suku Bugis. Budaya yang menjiwai orang orang Bugis, bukan hanya menyangkut, adat istiadat, atau hubungan antar sesama manusia,tapi juga hubungan manusia dengan Tuhannya. Gabungan dua kutub , yaitu hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhannya, menyatu dalam jiwa manusia Bugis sebagai perwujudan budaya,dalam kehidupan. Ada satu hal pemahaman dalam budaya mereka ketika ia berdiri pada sebuah keyakinan dengan memegang prinsip bahwa ; Seddimi Tau, Watanna mi maega artinya, Pada hakikatnya manusia hanya satu, hanya raganya yang banyak. Rupanya pemahaman inilah yang kemudian melahirkan sebuah bentuk ilmu tasawuf versi Bugis, yang disebut Ilmu Pappejeppu. Pengertian seddimi tau atau manusia hanya satu, hanya dipahami oleh orang orang yang mengenal dan yang mendalami ilmu pappejeppu, Didalam ilmu pappejeppu, dikenal bahwa dalam diri manusia, disamping raganya, juga terdapat ROH dan NYAWA, didalam ilmu Pappejeppu, dipahami bahwa ROH adalah percikan cahaya yang terpolarisasi dari Nur Ilahi, sedang NYAWA adalah seberkas percikan cahaya yang terpolarisasi dari NUR Muhammad, polarisasi kedua cahaya tersebut kemudian bersinergi, yang melahirkan letupan yang disebut NAPAS. Peranan dan manifestasi Napas inilah yang kemudian menjadi inti ajaran ilmu pappejeppu. Dari napas tersebut kemudian memancarkan lagi gelombang magnetis ke berbagai cakrawala dari segala penjuru alam pemikiran manusia, yang kemudian melahirkan cabang cabang tempat bertenggernya ilmu pengetahuan (Science), Ilmu Pappejeppu, Ilmu Mistik, dan Ilmu mantera. Khusus untuk ilmu mistik, dan ilmu mantera, semuanya tidak terlepas dari peranan napas. Walaupun hal ini nampaknya luput dari perhatian baik yang mendalami Ilmu Tasawuf atau Sufisme, ataupun ilmu pappejeppu itu sendiri. Korelasi napas yang terpolarisasi, kedalam bentuk ilmu Mistik, dan ilmu mantera, juga memberikan inspirasi, dan analisa, bahwa peranan napas pada setiap, manusia telah memberikan keyakinan prinsip seddimi Tau atau hanya satu manusia, bagi pengamal ilmu pappejeppu, hal ini oleh penulis mencoba mengungkap, pada buku ini, pada bagian lainnya. Rupanya prinsip seddimi tau atau manusia hanya satu, kurang disosialisasikan pada masyarakat umum, hal ini mungkin karena perinsip ini memilki nilai filosofi yang mendalam sehingga tidak mudah dicerna oleh orang yang tidak memahami ilmu pappejeppu. Selanjutnya bahwa Ilmu Pappejeppu ini telah dikenal dikalangan orang Bugis, jauh sebelum ajaran Islam masuk ke wilayah daerah Bugis, masuknya ajaran Islam yang, diiringi masuknya, ajaran tasawuf dari berbagai aliran Sufi, juga banyak mewarnai Ilmu Pappejeppu dalam berbagai kesamaan pandangan, namun disisi lain juga banyak perbedaannya. Ketika Ilmu Tasawuf Sufisme, menuntut manusia untuk hidup penuh kepasrahan, dan hidup Zuhud, maka orang Bugis dengan ilmu pappejepu yang dimilkinya, justru ia harus bangkit, dan berjuang, untuk melawan kepasrahan dan nasib, “ “ “(Sebagaimana Fiirman Allah SWT yang menyatakan Inna Laha La yugayirru ma bi kaomeng, hatta yugayiru ma bi anfusihim, artinya, Tidaklah berubah nasib seseorang atau kaum kecuali ia yang merubahnya,) “ hal ini guna meningkatkan kwalitas hidupnya di dunia, dan kwalitas hidup (ROH) yang ada pada dirinya ketika ia kembali ke Rahmatullah, sehingga orang orang yang memahami betul ilmu Pappejeppu, ketika ia menghadapi sakratul maut dengan berani berkata bahwa, nyawa saya tidak akan saya lepas kalau hanya suruhannya ( Malaikatul Maut) yang datang menjemput, kecuali dirinya, sama seperti ketika aku lahir ke Bumi melihat cahaya Dunia. Ilmu Pappejeppu bukanlah sebuah ilmu untuk diketahui, tapi sebuah ilmu hanya untuk dipahami. Sebagaimana pemahaman Ahli Pappejeppu, bahwa Allah SWT, ia tidak mau diketahui, hanya ia mau dipahami.
Bangkitnya orang Bugis untuk menentukan nasib ditangannya, tidak terlepas dari sebuah perinsip hidup yang menjiwai mereka yang mengatakan , Resopa temmangingngi malomo naletei pammase Dewata artinya : Hanya dengan kerja keras secara terus menerus tanpa kenal putus asa, akan mendapatkan Rachmat dari Allah SWT. Oleh karena itu ilmu Pappejeppu bagi orang Bugis bukanlah ilmu Tasawuf yang menghanyutkan manusia masuk kedalam Taqarrub untuk bertajalli, sebagai tujuan hidup, yang tidak lagi memperdulikan kehidupan disekelilingnya. Dan pandangan mereka terhadap orang orang yang hanyut dan tenggelam dalam taqarrub untuk bertajalli akan menjadikan manusia tersebut hanya menjadi beban dunia. Sebaliknya dalam ilmu pappejeppu Justru ber tajalli dalam ilmu Pappejepu bukan tujuan, tapi ia merupakan pegangan dan bekal manusia Bugis dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Salah satu pengertian ilmu pappejeppu tidak hanya berada dalam alam gaib, yang tidak memiliki wujud realita tertentu, dan hanya dapat dihayati dan direnungkan dalam aktivitas narasi manusia, tapi juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mewujudkan sesuatu yang bermanfaat, atau sesuatu yang dapat dipetik hasilnya dari hasil Pappejeppu yang bersumber dari pemahaman interaksi antara manusia dengan Tuhannya. Perbedaan lain antara ilmu tasawuf atau Sufisme dengan ilmu Pappejepu, dimana sebelum memasuki ajaran ilmu Tasawuf atau Sufisme,terlebih dahulu seseorang harus masuk kedalam salah satu aliran Tariqat, katakanlah aliran Tariqat yang paling populer di Indonesia adalah aliran Naqsyabandiah, bahwa seseorang yang masuk kedalam aliran Tariqat ini, terlebih dahulu ia harus di bay’at, sebagai bentuk kesetiaan dan kepatuhan yang mengikat dirinya terhadap Mursyid atau syaikh, maupun terhadap aliran itu. Disamping itu dalam ajaran sufisme manusia hanya dituntun untuk melakukan berbagai bentuk dzikir, utamanya dzikir yang menyangkut IZMU JALALAH, dengan berbagai metode dan latihan. Sedang dalam menuntut ilmu Pappejeppu, NAPAS adalah merupakan mediator satu satunya seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhannya. Begitupula hubungan antara murid dan guru tidak ada suatu keterikatan, atau terhadap mursyid maupun terhadap aliran, karena ilmu pappejeppu tidak memiliki aliran, hanya satu hal yang menjadi Sumpah seseorang murid terhadap mursyidnya adalah sang murid dilarang keras mengajarkan ilmu tersebut kepada siapapun tanpa ada izin dari mursyid. Dalam ilmu pappejeppu, sebenarnya tidak dikenal Guru dan Murid, seseorang yang mengajarkan dengan menunjukkan jalan tentang tata cara Pappejepu, hanya sebuah panggilan, untuk berbagi ilmu.
Langgan:
Catatan (Atom)